BOLOGNA – Kendati sudah kembali ke pabrikan Jepang –
Yamaha Factory, pengalaman dua musim Valentino Rossi bersama Ducati,
masih hangat diumbar, terutama oleh bos baru Ducati, Bernhard Gobmeier.
Menurutnya, reputasi Rossi menjadi korban DNA nan ganjil kuda besi
Italia itu.
Gabung ke Ducati sejak 2011, Rossi sempat diharapkan mampu meneruskan
sukses Ducati yang pernah dijejaki Casey Stoner. Namun entah mengapa,
dari seri ke seri bahkan dari musim ke musim, julukan
The Doctor yang disandang Rossi, bak tak mempan untuk menjinakkan Ducati dari berbagai
problem.
Sedianya tak hanya Rossi, kompatriotnya, Marco Melandri, mengalami hal
yang sama dan ceritanya tak beda dengan Nicky Hayden, yang kini masih
bertahan. Sepanjang dua musim, Rossi pun hanya mengoleksi tiga podium,
berbeda jauh dari raihan 23 kemenangan seri yang pernah dituai Stoner.
Sejatinya, Gobmeier juga mengaku heran dengan fenomena yang dialami
Rossi, yang memang terbiasa menunggang pabrikan Jepang. Ducati seperti
memberi respons dan reaksi berbeda dan aneh dan tak menyenangkan kala
ditunggangi Rossi.
“Saya percaya dan Ducati juga percaya bahwa Valentino, salah satu
pembalap terhebat yang pernah ada. Tapi saya rasa, dia juga menjadi
korban gen/DNA Ducati. Ducati memang tak berubah banyak dari 2007 sampai
2012,” ujar Gobmeier, seperti disadur
MCN, Rabu (30/1/2013).
“Performa motor bisa lebih baik, tapi pembalap macam Melandri atau
Valentino yang memang sangat sensitif, mereka mengharapkan reaksi
tertentu terhadap motor mereka seperti sebagaimana mestinya. Jadi saat
mereka tak mendapat reaksi seperti biasanya, mereka kebingungan,”
lanjutnya.
“Cara mereka berinteraksi dengan motor, sama sekali tak ada kecocokan.
Saya yakin bahwa Valentino, yang datang dengan antusiasme setelah sukses
di Yamaha, kerepotan mengembangkan style baru dari gaya yang sudah
biasa dia lakukan,” tambah Gobmeier.
Memang, tak mudah bagi pembalap manapun, mengganti “ideologi” style
masing-masing saat menghadapi motor dengan karakter berbeda. Rossi bisa
berhasil bersama Honda dan Yamaha, lantaran sudah terbiasa menunggangi
dua karakter pabrikan Jepang tersebut, sejak meniti karier
profesionalnya.
“Para pembalap sudah belajar membalap sejak mereka masih belia. Mereka tak melakukannya dengan otak, melainkan
feeling yang
alami. Mereka bergantung pada refleks dan jika Anda memberikan beberapa
saran baru, pasti akan terasa aneh buat mereka,” sambungnya.
“
Feeling alami mereka tak terbiasa menerima hal baru dan mereka
harus terus berpikir, apa yang harus dilakukan. Sekalinya mereka harus
memikirkan itu, takkan pernah keluar solusi dengan cepat karena itu tak
terjadi secara alami,” tuntas Gobmeier.
